Sejarah Lengkap Pemberontakan DI/TII di Indonesia
Ditulis pada: 3/14/2016
Pemberontakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia pernah terjadi di lima daerah Indonesia antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Seperti apa kronologinya? Silahkan simak kisah sejarahnya berikut ini.
Pada tanggal 7 Agustus 1949, di Tasikmalaya ia memproklamasikan berdirinya "Negara Islam Indonesia".
Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilancarkan operasi Baratayudha dengan taktik pagar betis.
Pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil di tangkap di Gunung Geber di daerah Majalaya, Jawa Barat oleh pasukan Siliwangi, Kartosuwiryo akhirnya dihukum mati pada tanggal 16 Agustus 1962.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan.
Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai "Komandan Pertempuran Jawa Tengah" dengan pangkat "Mayor Jenderal Islam Indonesia".
Untuk menghancurkan gerombolan DI/TII ini pada bulan Januari 1950 dibentuk suatu Komando Operasi yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN).
Kekuatan DI/TII di daerah GBN semula sudah hampir dapat dipatahkan, namun menjadi kuat lagi setelah bergabungnya sia-sia AUI, Batalyon 426, dan MMC.
Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah GBN dilancarkan operasi yang dilakukan oleh pasukan khusus dengan nama Banteng Raiders.
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar alias Haderi bin Umar alias Angli.
Dengan pasukannya yang dinamakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT), Ibnu Hajar mulai bulan Oktober 1950 melakukan tindakan-tindakan pengacauan dengan menyerang pos-pos keamanan tentara di Kalimantan Selatan.
Pemerintah masih memberi kesempatan pada Ibnu Hajar secara baik-baik untuk menghentikan petualangannya.
Ia pernah menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hajar melarikan diri lagi melanjutkan pemberontakannya.
Perubahan tersebut dilakukan beberapa kali, akhirnya pemerintah mengambil tindakan tegas menggempur gerakan Ibnu Hajar.
Pada akhirnya pada akhir tahun 1959, pasukan pemberontak Ibnu Hajar berhasil dihancurkan dan Ibnu hajar sendiri dapat ditangkap.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar, yang selama perjuangan kemerdekaan berjuang di Pulau Jawa.
Sekembalinya di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya yang kemudian bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang antara lain menuntut agar semua KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.
Tuntutan ini tidak sepenuhnya dikabulkan, yang dapat diterima jadi anggota APRIS hanyalah yang lulus dalam penyaringan.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan dengan menyalurkan bekas-bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap Ibnu Hazar menerima kegagalan.
Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan ini, pemerintah melakukan serangkaian operasi militer.
Dalam operasi tanggal 3 Februari 1965 yang dilakukan oleh pasukan TNI, Kahar Muzakar berhasil ditembak mati.
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Latar belakangnya adalah rasa kekhawatiran akan hilangnya kedudukan dan perasaan kecewa karena diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara yang ditetapkan pemerintah tahun 1950.
Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" pimpinan Kartosuwiryo.
Daud Beureueh sebagai tokoh utama dan bekas Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh mudah untuk mencari pengikut, maka setelah pernyataan maklumat tersebut segera diadakan gerakan serentak untuk menguasai kota-kota yang ada di Aceh.
Penyelesaian akhir untuk menghadapi DI/TII di Aceh dilakukan dengan cara musyawarah yang disebut Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berlangsung pada tanggal 17-28 Desember 1962 atas prakarsa Pangdam I Kolonel M. Jasin.
Dengan kembalinya Daud Beureueh ke masyarakat, keamanan di daerah Aceh pulih kembali.
Nah itu lah Sejarah tentang Pemberontakan DI/TII yang pernah terjadi di Indonesia, semoga pembahasan ini bisa menambah wawasan dan membantu teman-teman untuk memudahkan pembelajaran.
Seperti apa kronologinya? Silahkan simak kisah sejarahnya berikut ini.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat (7 Agustus 1949)
Pemberontakan DI/TII muncul pertama kali di Jawa Barat di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.Pada tanggal 7 Agustus 1949, di Tasikmalaya ia memproklamasikan berdirinya "Negara Islam Indonesia".
Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilancarkan operasi Baratayudha dengan taktik pagar betis.
Pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil di tangkap di Gunung Geber di daerah Majalaya, Jawa Barat oleh pasukan Siliwangi, Kartosuwiryo akhirnya dihukum mati pada tanggal 16 Agustus 1962.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah (4 Desember 1951)
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan.
Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai "Komandan Pertempuran Jawa Tengah" dengan pangkat "Mayor Jenderal Islam Indonesia".
Untuk menghancurkan gerombolan DI/TII ini pada bulan Januari 1950 dibentuk suatu Komando Operasi yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN).
Kekuatan DI/TII di daerah GBN semula sudah hampir dapat dipatahkan, namun menjadi kuat lagi setelah bergabungnya sia-sia AUI, Batalyon 426, dan MMC.
Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah GBN dilancarkan operasi yang dilakukan oleh pasukan khusus dengan nama Banteng Raiders.
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan (10 Oktober 1950)
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar alias Haderi bin Umar alias Angli.
Dengan pasukannya yang dinamakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT), Ibnu Hajar mulai bulan Oktober 1950 melakukan tindakan-tindakan pengacauan dengan menyerang pos-pos keamanan tentara di Kalimantan Selatan.
Pemerintah masih memberi kesempatan pada Ibnu Hajar secara baik-baik untuk menghentikan petualangannya.
Ia pernah menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hajar melarikan diri lagi melanjutkan pemberontakannya.
Perubahan tersebut dilakukan beberapa kali, akhirnya pemerintah mengambil tindakan tegas menggempur gerakan Ibnu Hajar.
Pada akhirnya pada akhir tahun 1959, pasukan pemberontak Ibnu Hajar berhasil dihancurkan dan Ibnu hajar sendiri dapat ditangkap.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan (17 Agustus 1951)
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar, yang selama perjuangan kemerdekaan berjuang di Pulau Jawa.
Sekembalinya di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya yang kemudian bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang antara lain menuntut agar semua KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.
Tuntutan ini tidak sepenuhnya dikabulkan, yang dapat diterima jadi anggota APRIS hanyalah yang lulus dalam penyaringan.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan dengan menyalurkan bekas-bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap Ibnu Hazar menerima kegagalan.
Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan ini, pemerintah melakukan serangkaian operasi militer.
Dalam operasi tanggal 3 Februari 1965 yang dilakukan oleh pasukan TNI, Kahar Muzakar berhasil ditembak mati.
Pemberontakan DI/TII di Aceh (21 September 1953)
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Latar belakangnya adalah rasa kekhawatiran akan hilangnya kedudukan dan perasaan kecewa karena diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara yang ditetapkan pemerintah tahun 1950.
Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" pimpinan Kartosuwiryo.
Daud Beureueh sebagai tokoh utama dan bekas Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh mudah untuk mencari pengikut, maka setelah pernyataan maklumat tersebut segera diadakan gerakan serentak untuk menguasai kota-kota yang ada di Aceh.
Penyelesaian akhir untuk menghadapi DI/TII di Aceh dilakukan dengan cara musyawarah yang disebut Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berlangsung pada tanggal 17-28 Desember 1962 atas prakarsa Pangdam I Kolonel M. Jasin.
Dengan kembalinya Daud Beureueh ke masyarakat, keamanan di daerah Aceh pulih kembali.
Nah itu lah Sejarah tentang Pemberontakan DI/TII yang pernah terjadi di Indonesia, semoga pembahasan ini bisa menambah wawasan dan membantu teman-teman untuk memudahkan pembelajaran.