Perkembangan Tari Tunggal Kreasi Nonetnik Daerah Setempat
Ditulis pada: 3/30/2016
Seni kontemporer Indonesia meminjam banyak pengaruh dari luar, seperti tari Ballet dan tari modern Barat. Pada tahun 1954, dua seniman dari Jogjakarta yaitu Bagong Kussudiarjo dan Wisnuwhardana merantau ke Amerika Serikat untuk belajar Ballet dan tari modern dengan berbagai sanggar tari disana.
Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1959 mereka membawa budaya berkesenian baru, yang pada akhirnya mengubah arah, wajah dan pergerakan dan koreografi baru, mereka memperkenalkan gagasan seni tari sebagai ekspedisi pribadi sang seniman ke dalam seni tari Indonesia.
Keindahan seni tar tradisional Indonesia juga banyak memengaruhi seni tari kontemporer di Indonesia, misalnya langgam tari jawa berupa proses dan sikap tubuh serta keanggunan gerakan seringkali muncul dalam pergelaran seni tari kontemporer di Indonesia.
Kolaborasi Internasional juga dimungkinkan, misalnya kolaborasi seni tari Jepang Noh dengan seni tari teater tradisional Jawa dan Bali.
Tari nonetnik atau lebih dikenal dengan nama tari kontemporer berasal dari kata "co" (bersama) dan "tempo" (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik mereflesikan situasi waktu yang sedang dilalui.
Dalam dunia seni di Indonesia istilah kontemporer muncul awal tahun 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu.
Sementara itu perkembangan seni tari kontemporer ditandai dengan tersisihnya seni tari tradisional dai acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara seremonial saja.
a. Didik Nini Thowok
Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1959 mereka membawa budaya berkesenian baru, yang pada akhirnya mengubah arah, wajah dan pergerakan dan koreografi baru, mereka memperkenalkan gagasan seni tari sebagai ekspedisi pribadi sang seniman ke dalam seni tari Indonesia.
Keindahan seni tar tradisional Indonesia juga banyak memengaruhi seni tari kontemporer di Indonesia, misalnya langgam tari jawa berupa proses dan sikap tubuh serta keanggunan gerakan seringkali muncul dalam pergelaran seni tari kontemporer di Indonesia.
Kolaborasi Internasional juga dimungkinkan, misalnya kolaborasi seni tari Jepang Noh dengan seni tari teater tradisional Jawa dan Bali.
Tari nonetnik atau lebih dikenal dengan nama tari kontemporer berasal dari kata "co" (bersama) dan "tempo" (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik mereflesikan situasi waktu yang sedang dilalui.
Dalam dunia seni di Indonesia istilah kontemporer muncul awal tahun 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu.
Sementara itu perkembangan seni tari kontemporer ditandai dengan tersisihnya seni tari tradisional dai acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara seremonial saja.
1. Peranan Tari Tunggal Nonetnik
Mengupas tari tunggal kreasi nonetnik daerah setempat tidak terlepas dari jenis, peran dan perkembangan jenis tari tunggal Nusantara yang tak terbilang jumlahnya. Demikian juga peran hari tunggal Nusantara sangatlah beragam.
Perkembangan tari tunggal menyangkut tentang riwayat terbentuk sampai wujud yang ada sekarang. Jenis tari tunggal nusantara terdapat dalam berbagai bentuk tarian yang terkadang sulit dipisahkan dalam peran tertentu.
Dengan kata lain, bisa terjadi satu tari berperan dalam berbagai keperluan, baik sosial, politik, agama, kepercayaan, maupun hiburan.
Tari tunggal kreasi nonetnik yang terdapat di Nusantara ini memiliki peranan yang cukup besar dalam masyarakat.
Peranan tari tunggal kreasi nonetnik Nusantara sebagai berikut.
a. Jaipong
Jaipong adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian diatas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipong.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran.
Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul.
b. Tari Wira Pertiwi
Tarian ini merupakan kreasi baru ciptaan Bagong Kussudiardjo yang menggambarkan sosok kepahlawanan seorang prajurit putri Jawa. Ketegasan, ketangkasan dan ketangguhan seorang prajurit tergambar dalam gerakan yang dinamis.
c. Sarana Pertunjukan
Tari pertunjukan adalah sebuah tari yang menitikberatkan pada segi keindahannya bukan pada seni hiburannya. Sementara yang termasuk dalam tari pertunjukkan adalah. tari-tari rakyat, tari upacara, dan tari hiburan yang sudah digarap menjadi sebuah tari pertunjukan tentu saja dengan mengindahkan kaidah-kaidah keindahannya.
Tari Prawiroguno adalah contoh tari selain sebagai hiburan juga pertunjukan. Tari Prawiroguno menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
c. Sarana Upacara
Contoh tari untuk sarana upacara adalah tari Ronggeng. Tari ronggeng sebenarnya merupakan bagian dari upacara untuk meminta kesuburan tanah. Upacara ini dilakukan supaya hasil pertanian warga melimpah ruah.
Pergeseran mulai terjadi di zaman kolonialis,. Sejak era kolonial Portugis hingga Belanda dan Jepang, Ronggeng dijadikan sebagai hiburan di daerah perkebunan.
Tak hanya bagi pekerja perkebunan, Ronggeng merupakan hiburan bagi kaum penjajah saat itu. alhasil, sejak saat itulah Ronggeng tak lagi sekedar sebagai ritual adat.
2. Akulturasi Tari Kreasi Nonetnik
Tari tunggal kreasi nonetnik dapat tercipta melalui pengalaman dan juga perkembangan zaman. Namun, tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur estetika tari dan akulturasi atau pencampuran dua budaya atau lebih.
Dalam penciptaan tari kreasi nonetnik, terdapat beberapa unsur yang mendukung proses penciptaan akulturasi, di antaranya adalah penambahan unsur koreografi tari daerah lain. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya khususnya akulturasi seni tari.
Mari kita pelajari apa yang dilakukan penari Nusantara, Didik Nini Thowok, yang telah melanglangbuana ke beberapa negara untuk menciptakan tari kreasi nonetnik.
Berikut ini Tarian Jawa Jogjakarta akulturasi dengan Tarian Jepang.
a. Tari Jawa Gaya Jogjakarta dengan Tari Noh Jepang
Setelah mengalami penundaan pementasan Kala Kina Kini yang semula dijadwalkan 29-29 Oktober akhirnya Didik Ninik Thowok menggelar acara tersebut pada bulan Maret 2002. Dalam pementasan itu, Didik menampilkan koreografi tari yang bersumber dari tarian yang dahulu.
Karya tersebut merupakan hasil persentuhannya dengan budaya Jepang, yakni antara tari Jawa gaya Jogjakarta dengan Noh, drama tradisional Jepang.
Tari Noh merupakan jenis tari yang diiringi nyanyian atau musik tradisional dengan seluruh bagian telapak kaki yang yang tidak pernah diangkat melainkan diseret-seret (suriashi), walaupun kadang-kadang ada juga gerakan menghentakkan kaki.
Gerakan tari bisa dilakukan dengan berputar di dalam ruang gerak yang sempit atau seluruh panggung sebagai ruang gerak.
Selain itu, Didik mengaku akan menyuguhkan tiga karya terbarunya, seperti Bedhaya Hagoromo, tari Kipas, dan tari Panca-Muka Kolaborasi.
b. Tari Bedhaya Kolaborasi Legenda Jaka Tarub dan Hagoromo
Konsep garapan tari Bedhaya ini bersumber dari dua legenda yang hampir mirip, yaitu cerita Jaka Tarub dan Nawangwulan dari sebuah legenda di Jawa yang sangat populer dengan Hagoromo yang berasal dari Noh Drama yaitu salah satu kesenian Jepang.
Dari kedua sumber yang hampir mirip itu maka timbullah ide koreografer untuk memadukan keduanya dalam sebuah garapan tari dengan format Bedhaya, maka terbentuk Bedhaya Kakung (Bedhaya yang ditarik oleh laki-laki yang berperan sebagai penari wanita, yang sangat populer pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII dan VIII, dan pada waktu itu di Kraton Jogyakarta ada Abdi Dalem Bedhaya Kakung dan Abdi Dalem Bedhaya Putri).
c. Tari Kipas Kolaborasi dengan Tari Kipas dari Nihon Buyo
Gerakan tari kipas ini juga memadukan unsur tari kipas yang ada di Bali, Sumatra, Sulawesi dengan gerakan kipas dan Nihon Buyo (tari tradisional Jepang) ataupun Noh Drama. Lima penari dengan lima warna kostum yang berlainan menggambarkan lima elemen yaitu, angin, air, api, kayu, dan tanah.
Dalam komposisi tari Kipas ini menggambarkan penggunaan kipas secara simbolis, dengan mengungkapkan gerak dari kelima elemen tersebut, adapun kegunaan kipas untuk menggambarkan bermacam-macam ungkapan seperti keindahan kipas, senjata, tiruan sebuah benda atau bintang, dan lain-lain.
d. Tari Topeng (Jogjakarta) Sesuai Konteks Budaya Daerah Setempat (Bali)
Beberapa seniman tari yang berkolaborasi dalam sebuah garapan yang bersumber dari topeng Bonders di Bali, antara lain Alex Dea, Daruni, Ni Nyoman Sudewi, dan Didik Nini Thowok, akan mengekspresikan karakter topeng yang garapannya dalam format komedi.
e. Tari Panca-Muka Kolaborasi Unsur Tari Empat Negara
Tari Panca-Muka Kolaborasi menggambarkan lima wajah dengan karakter berbeda, yang memadukan unsur tari dari empat negara yaitu, Indonesia, Jepang, India, dan Cina.
3. Koreografi Tari Kreasi Nonetnik (Kontemporer)
Berikut beberapa tokoh koreografer tari kreasi populer yang telah banyak melahirkan karya-karya tari kreasi yang indah dan bernilai seni tinggi.
Sepenggal kisah diatas menunjukkan kepada kita bahwa Didik Nini Thowok berupaya memperkaya khazanah tari Nusantara dengan menciptakan tari Kreasi Baru. Ia sendiri kemudian melahirkan karya-karya penuh humor seperti tari Dwimuka tahun 1987, tari Kuda Putih tahun 1987, tari Dwimuka Jepindo tahun 1999, tari Topeng Nopeng tahun 1988, tari Topeng Walang Kekek di tahun 1980, serta ratusan karya lainnya.
Karyanya yang masih sering ia bawakan sampai sekarang tari Dwimuka masih tetap mengundang decak kagum terhadap gerakan dan polah tingkah para tokoh yang dimainkan Didik di panggung. Tahun 1980 Didik mendirikan sanggar tari bernama Natya Lakshita yang artinya tari yang berciri.
b. Fitri Setyaningsih dari Solo. Karya tarinya yaitu "Jahitan Merah".
c. Kandhi Wirastuti dari Solo. Karya tarinya yaitu "Indit".
d. Ni Kadek Yulia Puspasari dari Solo. Karya tarinya yaitu "Glass of Milk, a Plate of ...".
e. Sherly Novalindari dari Padangpanjang. Karya tarinya yaitu "Tubuhku Butuh".
f. Ikha Ramadhani dari Padangpanjang. Karya tarinya yaitu "Simarewan jo Perempuan".
(g). Wening Iskandar dari Jakarta. Karya tarinya yaitu "Bertutur Berpijak".
(h). Gita Novita dari Jakarta. Karya tarinya yaitu "Dua dalam Satu".
(i). Ninin Tri Wahyuningsih dari Jogjakarta. Karya tainya yaitu "Mbel".
(j). Dian Putri Astuti dari Surabaya. Karya tarinya yaitu " Rasa".
(k). Sardono W. Kusumo
Sardono terkenal dengan jenis-jenis tariannya yang mencoba menggunakan penari dan lingkungan sebagai instrumen pernyataan tari. Dapat dikatakan bahwa Sardono paling jauh melangkah mencari bentuk-bentuk baru.
Dalam penghayatan tari, ia lebih menekankan pada proses gerakan daripada titik-titik hentinya berupa pose-pose.
(l). Hurijah Adam
Hurijah adalah tokoh tari kreasi yang berasal dari Sumatra. Ia lebih menekankan pada kreasi musik-musiknya, terutama pada pencak Minang. Ia mencoba mendalami suasana musik pencak Minang.
Itulah perkembangan tari tunggal daerah setempat, semoga artikel ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan anda. Setelah memahami perkembangan tari tunggal ada baiknya simak juga perkembangan tari kelompok.
Itulah perkembangan tari tunggal daerah setempat, semoga artikel ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan anda. Setelah memahami perkembangan tari tunggal ada baiknya simak juga perkembangan tari kelompok.