Skip to main content

Sejarah Kerajaan Islam di Jawa

Tahukah Anda, kapan Islam masuk ke Pulau Jawa? Salah satu bukti sejarah bahwa awal mula datangnya Islam di Jawa yaitu makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang meninggal tahun 475 H atau 1082 M di desa Leren, Kecamatan Manyar, Gresik. Diperkirakan Fatimah ini adalah keturunan Hibatullah (salah satu dinasti di Persia).

Selain itu di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam Islam kuno berangka tahun 1374. Diperkirakan makam tersebut makam keluarga istana Majapahit. Dari bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam sudah lama masuk ke Pulau Jawa sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia. Berikut akan kita pelajari kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Pulau Jawa.

Sejarah Kerajaan Islam di Jawa

1. Kerajaan Demak

a. Letak Geografis

Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, yang pada awal munculnya Kerajaan Demak mendapat bantuan dari para bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Timur yang telah menganut agama Islam. Sebelum Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mendorong berdirinya Kerajaan Demak:
  • Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan para pedagang Islam mencari persinggahan dan perdagangan baru, misalnya di Demak.
  • Raden Patah, pendiri Demak masih keturunan Raja Majapahit Brawijaya V.
  • Raden Patah mendapat dukungan dari para wali yang sangat dihormati.
  • Banyak adipati pesisir yang tidak puas dengan Majapahit dan pendukung Raden Patah.
  • Mundur dan runtuhnya Majapahit.
  • Pusaka Kerajaan Majapahit sebagai lambang pemegang kekuasaan diberikan kepada Raden Patah. Dengan demikian, Kerajaan Demak merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit dalam bentuk baru.

b. Kehidupan Politik

Berikut adalah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak.

[1]. Raden Patah (1500-1518 M)
Raden Patah menurut babad Tanah Jawi adalah keturunan raja terakhir Kerajaan Majapahit (Raja Brawijaya V dan seorang putri dari Cina). Setelah Raden Patah dewasa diangkat oleh Kerajaan Majapahit menjadi raja bawahan di Bintoro (Demak) dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran, Demak melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit. Kemudian Raden Patah mendirikan Kerajaan Islam pertama di Jawa.

[2]. Adipati Unus (1518-1521 M)
Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal pada usia yang masih muda. Walaupun demikian, Adipati Unus dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani melakukan blokade terhadap Portugis di Malaka. Keberanian Adipati Unus menyerang kedudukan Portugis di Malaka membuat Adipati Unus dijuluki Pangeran Sabrang Lor (pangeran yang pernah menyerang ke utara). Oleh karena Adipati Unus meninggal tidak meninggalkan putra mahkota, maka Adipati Unus digantikan oleh salah seorang adiknya yang bernama Raden Trenggana.

[3]. Sultan Trenggana (1521-1546 M)
Sultan Trenggana dilantik menjadi Raja Demak oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agam Islam berkembang lebih luas. Pada tahun 1522 M Demak mengirimkan pasukan ke Jawa Barat yang dipimpin oleh Fatahillah.

Tujuan pengiriman tersebut untuk menggagalkan terjadinya hubungan antara Kerajaan Pajajaran dan Cirebon. Fatahillah berhasil mengusir Portugis yang menduduki Banten dan Cirebon, kemudian Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M, kemudian tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta.

Dalam perluasan pengaruh Demak di Jawa Timur dipimpin langsung oleh Sultan Trenggana. Satu per satu daerah di Jawa Timur seperti Madiun, Gresik, Tuban, Singasari, dan Blambangan berhasil dikuasai. Namun ketika menyerang Pasuruan pada tahun 1546 M, Sultan Trenggana gugur.

c. Kehidupan Budaya

Salah satu hasil peninggalan budaya Kerajaan Demak adalah Masjid Agung Demak yang terkenal dengan salah satu tiangnya yang terbuat dari pecahan kayu (tatal). Karena terbuat dari pecahan kayu, maka tiang tersebut di beri nama saka tatal. Pembangunan masjid ini dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Di pendopo masjid inilah Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar perayaan sekaten yang tujuannya untuk menyebarkan tradisi Islam. Tradisi tersebut sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan di Surakarta.


2. Kerajaan Banten

a. Letak Geografis

Di manakah letak Kerajaan Banten? Secara geografis Kerajaan Banten terletak di daerah Banten sekarang, yaitu di ujung barat Pulau Jawa. Dasar-dasar Kerajaan Banten diletakkan oleh Kerajaan Hasanuddin (putra Fatahillah) dan mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Sunda. Dengan posisi yang strategis inilah, Kerajaan Banten menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa Barat, bahkan menjadi saingan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di Batavia.

b. Kehidupan Politik

Berkembangnya Kerajaan Banten tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Banten. Adapun raja-raja tersebut antara lain sebagai berikut.

[1]. Hasanuddin (1552-1570 M)
Daerah Banten setelah diislamkan oleh Fatahillah kemudian diserahkan pada putranya yang bernama Hasanuddin. Hasanuddin diangkat menjadi raja pertama di Banten. Pada masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan Kerajaan Banten berkembang cukup pesat. Raja Hasanuddin melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke Lampung.

Dengan menguasai Lampung, Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas pelayaran perdagangan Selat Sunda, sehingga setiap pedagang yang melewati Selat Sunda diwajibkan untuk melakukan kegiatannya di Bandar Banten.

[2]. Panembaha Yusuf (1570-1580 M)
Setelah Hasanuddin meninggal, tahta kerajaan diteruskan putranya yang bernama Panembahan Yusuf dengan gelar Syekh Maulana Yusuf. Pada pemerintahan Panembahan Yusuf berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan, bahkan Panembahan Yusuf juga berusaha memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan merebut Pakuan Pajajaran pada tahun 1579 M.

Dalam pertempuran tersebut, raja Pakuan yang bernama Prabu Sedah gugur. Kerajaan Pajajaran yang merupakan benteng terakhir kerajaan Hindu di Jawa Barat berhasil dikuasai Panembahan Yusuf. Setelah sepuluh tahun memerintah, Panembahan Yusuf meninggal akibat sakit keras yang dideritanya.

[3]. Maulana Muhammad (1580-1596 M)
Pada akhir pemerintahan Panembaha Yusuf, hampir terjadi perang saudara antara Pangeran Jepara dan Panembahan Yusuf. Dinamakan Jepara karena sejak kecil Pangeran Jepara sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Pangeran Jepara yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat menuntut takhta Kerajaan Banten, tetapi mangkubumi Kerajaan Banten dan pejabat-pejabat lainnya tidak menyetujuinya.

Namun, Yusuf yang baru berumur 9 tahun bernama Maulana Muhammad dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. Berhubung masih muda, Maulana Muhammad di dampingi oleh Mangkubumi (patih) sampai siap menjadi raja untuk memerintah.

Setelah dewasa, pada tahun 1596 M, Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan Kerajaan Banten untuk menyerang Palembang yang tujuannya untuk menguasai bandar-bandar dagang yang terletak di tepi Selat Malaka agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi. Pada waktu Maulana Muhammad menyerang Palembang, Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572-1627 M).

Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Pada waktu itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus saingan Kerajaan Banten. Itulah penyebab Maulana Muhammad menyerang Palembang.

Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir dapat ditaklukkan. Namun, Sultan Maulana Muhammad terkena tembakan dan meninggal. Oleh karena itu, Sultan Maulana Muhammad dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan ke Palembang ini dihentikan dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.

[4]. Abu Mufakir (1596-1640 M)
Setelah Kanjeng Ratu Banten meninggal, takhta kerajaan diserahkan kepada putranya yang baru berumur lima bulan bernama Abu Mufakir. Berhubung baru berumur lima bulan pemerintahan dipegang oleh seorang mangkubumi, yaitu Pangeran Ranamenggala. Pada tahun 1624 M, Pangeran Ranamenggala meninggal dan kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran karena semakin kuatnya blokade VOC yang sudah menguasai Batavia.

[5]. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692 M)
Setelah Abu Mufakir meninggal, diganti oleh putranya yang bergelar Sultan Abu Maali Ahmad Rahmatullah. Mengenai pemerintahan Sultan ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu Maali wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Abdul Fattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.

Dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berupaya memperluas wilayahnya dan mengusir Belanda dari Batavia, bahkan Sultan Ageng Tirtayasa juga berhasil memajukan perdagangan, sehingga Banten berkembang menjadi bandar Internasional yang dikunjungi oleh kapal-kapal Persia, Arab, Cina, Inggris, Prancis, dan Denmark.

Pada tahun 1671 M, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Sejak saat itu Sultan Ageng Tirtayasa beristirahat beristirahat di Tirtayasa tetapi tetap mengendalikan pemerintahan Banten. Pada tahun 1674 M, Sultan Abdul Kahar berangkat ke Mekah, kemudian dilanjutkan mengunjungi Turki dan kembali lagi ke Banten pada tahun 1676 M. Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Ketika Sultan Haji memerintah Banten, Sultan Haji menjalin hubungan baik dengan Belanda, tetapi hubungan tersebut dijadikan kesempatan oleh Belanda untuk memasuki Banten. Melihat terjalinnya hubungan antara Sultan Haji dan Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa tidak senang dan menarik kembali takhta kerajaan dari tangan Sultan Haji.

Namun Sultan Haji tetap mempertahankan takhta dan terjadilah perang saudara antara Sultan Haji dan Sultan Ageng Tirtayasa. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji karena mendapatkan bantuan dari Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia sampai wafat tahun 1692 M.

Dengan kemenangan Sultan Haji tersebut merupakan awal kehancuran Kerajaan Banten. Selanjutnya Kerajaan Banten di bawah pengawasan dan diatur oleh Belanda, sedangkan Sultan Haji hanyalah sebagai lambang belaka (raja boneka).

c. Kehidupan Masyarakat

[1]. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Banten dalam kehidupan perekonomiannya bertumpu pada bidang perdagangan. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
  • Kedudukan kerajaan Banten sangat strategis di tepi Selat Sunda.
  • Banten memiliki bahan ekspor penting, yaitu lada sehingga menjadi daya tarik yang kuat bagi pedagang asing.
  • Kerajaan Banten terletak di Teluk Banten dan pelabuhannya memenuhi syarat sebagai pelabuhan dagang yang baik.
  • Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong pedagang Islam mencari daerah baru di Jawa Barat, yaitu Banten dan Cirebon.
[2]. Kehidupan Budaya
Dalam bidang seni bangunan, kerajaan Banten meninggalkan bangunan Masjid Agung Banten yang dibangun sekitar abad ke-16. Menara Masjid Agung Banten yang mirip mercusuar dibangun oleh Hendrik Lucozoon Cardeel (orang Belanda pelarian dari Batavia yang masuk Islam).

Masjid Agung Banten ini beratap tumpang/susun lima. Selain Masjid Agung Banten, juga terdapat gapura di Kaibon, Banten, dan istana model Eropa yang dibangun oleh Jan Lukas Cardell (Orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut Islam).


3. Kerajaan Cirebon

a. Lokasi Kerajaan

Letak Kerajaan Cirebon terletak di pantai utara Jawa Barat dan berbatasan dengan Jawa Tengah. Kerajaan Cirebon didirikan oleh Syarif Hidayatullah sekitar abad ke-15. Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati (salah satu dari Wali Sanga).

b. Kehidupan Politik

Pada awalnya Cirebon termasuk pelabuhan Kerajaan Pajajaran. Pada tahun 1513 Cirebon dibawah kekuasaan Lebe Usa dikuasai Raden Patah dari Demak. Syarif Hidayatullah pada tahun 1479 menjadi penguasa Cirebon setelah menggantikan mertuanya. Kemudian Syarif Hidayatullah mendirikan Keraton Pakungwati di sebelah timur Keraton Kasepuhan kini.

Sejak saat itulah Cirebon menghentikan upetinya kepada Pajajaran. Berikut beberapa raja Cirebon yang mewarnai kehidupan politik di Cirebon.

[1]. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atau Pandita Ratu (1479-1568)
Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah selain mendirikan Kerajaan Cirebon juga telah berhasil menyebarkan Islam ke Kuningan, Talaga, dan Galuh antara tahun 1518-1530. Pada tahun 1527 Syarif Hidayatullah mendorong menantunya (sekaligus panglima Kerajaan Demak) untuk menyerang Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Kerajaan Sunda yang mengadakan hubungan dengan Portugis.

[2]. Panembahan Ratu I (1570-1694)
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu I hubungan dengan Kerajaan Mataram terjalin dengan harmonis melalui pernikahan diantara kedua keluarga kerajaan.

[3]. Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya (1649-1677)
Panembahan Ratu II pernah dipanggil ke Mataram dan Selama 12 tahun tidak pernah kembali ke Cirebon hingga akhir hayatnya. Panembahan Ratu II dimakamkan di Bukit Girilaya sebelah Imogiri Yogyakarta. Sepeninggal Panembahan Ratu II, Kerajaan Cirebon pecah menjadi 4 kekuasaan, yaitu Kesepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan Kacirebonan.


4. Kerajaan Mataram

a. Letak Geografis

Kerajaan Mataram pada awal perkembangannya adalah daerah kadipaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Kerajaan Mataram berada di daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan pusatnya di Kotagede atau Pasar Gede dekat daerah Yogyakarta sekarang. Dari daerah inilah Kerajaan Mataram terus berkembang hingga akhirnya menjadi kerajaan besar dengan wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian daerah Jawa Barat.

b. Kehidupan Politik

Tahukah Anda siapa raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram? Berikut adalah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram.

[1]. Panembahan Senopati
Setelah menjadi raja, Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati bercita-cita menjadikan Mataram sebagai pusat kekuasaan di Jawa. Untuk mewujudkan cita-citanya, Panembahan Senopati di bantu pamannya yang bernama Ki Juru Martani.

[2]. Panembahan Sedo ing Krapyak
Setelah Panembahan Senopati wafat, tahta Mataram beralih pada putranya yang bernama Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyokrowati. Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Kerajaan Mataram diperluas lagi dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Pada waktu pulang dari pertempuran, Mas Jolang Wafat di desa Krapyak, Jawa Timur dan Selanjutnya Mas Jolang dikenal sebagai Panembahan Sedo ing Krapyak.

[3]. Sultan Agung Hanyokrokusumo
Setelah Mas Jolang meninggal, ia digantikan putranya yang bernama Raden Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada masa pemerintahan Sultan Agung ini Kerajaan Mataram mencapai zaman keemasan. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa da mengusir kompeni (VOC) dari Batavia.

Setelah berhasil menguasai Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon, Sultan Agung berencana menyerang Batavia. Serangan dilakukan pada bulan Agustus 1628 dan September 1629 namun mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan ini antara lain kekurangan perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram-Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit.

Prestasi besar yang dapat dicapai oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo sebagai berikut.
  • Memperluas daerah kekuasaannya hingga meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
  • Mengatur dan mengawasi wilayahnya yang luas langsung dari pemerintah pusat (Kotagede).
  • Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim, Kerajaan Mataram merupakan pengekspor beras terbesar pada masa itu.
  • Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di Batavia sampai dua kali.
  • Mengubah penghitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang berdasarkan peredaran bulan (sejak tahun 1633).
  • Menyusun karya sastra yang cukup terkenal yaitu Sastra Gending.
  • Menyusun kitab udang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam debgab adat-istiadat Jawa yang disebut Surga Alam.
[4]. Sunan Amangkurat I
Setelah Sultan Agung meninggal, takhta kerajaan beralih kepada putranya yang bernama Amangkurat I. Pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I mengadakan kerjasama dengan VOC. Persekutuan dagang Belanda ini diperbolehkan mendirikan benteng di Mataram.

[5]. Sunan Amangkurat II
Pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat II kejayaan Mataram semakin menurun. Satu persatu wilayah kekuasaan Mataram dikuasai VOC. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan dari Mataram ke Kartasura. Pada tahun 1755 dengan campur tangan VOC Kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 wilayah dengan melalui Perjanjian Giyanti.

Berikut ini adalah isi Perjanjian Giyanti:
  • Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta Hadiningrat diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
  • Kasuhunan Surakarta atau Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III.
Dengan campur tangan VOC pada tahun 1757 Mataram terpecah belah melalui Perjanjian Salatiga. Mataram menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Mataram mengembangkan biokrasi dari struktur pemerintah yang teratur. Seluruh wilayah kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian, berikut bagian-bagian tersebut.
  • Kutagara/Kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
  • Negara Agung/Negeri Agung, yaitu daerah-daerah yang ada disekitar Kutagara, misalnya daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
  • Mancanegara, yaitu daerah diluar negara agung. Daerah mancanegara ini meliputi mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta mancanegara kulon (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
  • Pesisiran, yaitu daerah yang ada di pesisir. Di daerah ini juga ada daerah pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat dan pesisir wetan (timur) yakni Jepara terus ke timur.

c. Kehidupan Masyarakat

Tahukah anda bagaimana kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Mataram? Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Mataram bersifat agraris. Hal ini dibuktikan dengan usaha untuk memperluas daerah persawahan dan pemindahan petani ke daerah Karawang yang subur pada masa pemerintahan Sultan Agung.

Kerajaan Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Dr. de Han, Jan Vos, dan Pieter Franssen melaporkan bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya beras. Pada abad ke-17 Jawa menjadi lumbung padi. Hasil pertanian yang lain yaitu kayu, gula, kelapa, kapas, dan palawija.

Kehidupan masyarakat Mataram bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan. Kehidupan kebudayaan Mataram berkembang akulturasi kebudayaan Indonesia Islam, seperti sistem kalender karya Sultan Agung.

Sultan Agung juga menulis sebuah kitab yang berjudul Sastra Gending dan membangun kompleks makam raja-raja Mataram yang terdapat di Imogiri.

Bidang kebudayaan yang lain yang mengalami perkembangan adalah seni bangunan, ukir, lukis, dan  patung. Kreasi para seniman terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukiran-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah tari Bedhaya Ketawang. Sultan Agung juga memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa, contohnya di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. dengan membunyikan gamelan Kiai Ngawilaga dan Kiai Guntur Madu.

Kemudian juga diadakan upacara garebeg. Upacara garebeg ini diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Zulhijah (Iduladha), 1 Syawal (Idulfitri), dan 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Upacara garebeg ini merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada raja.

Kegiatan dalam upacara garebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan ini biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan asil bumi yang dibentuk menyerupai gunung.



Demikian artikel tentang sejarah kerajaan islam di jawa ini, semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua orang.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar